Konflik perdagangan antara Amerika Serikat dan China yang kembali bergulir pada tahun 2025 telah menciptakan gelombang ketidakpastian yang melanda perekonomian dunia termasuk Indonesia. Dengan penerapan tarif baru yang direncanakan mulai November 2025 kedua negara adidaya ini saling menekan satu sama lain sehingga memengaruhi alur perdagangan global secara keseluruhan. Indonesia yang memiliki hubungan dagang erat dengan keduanya merasakan konsekuensi langsung berupa penurunan ekspor peningkatan inflasi serta gangguan pada sektor investasi. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran bagi pelaku ekonomi nasional karena potensi perlambatan pertumbuhan yang bisa mencapai 0,5 persen dari proyeksi awal. Melalui pemahaman mendalam terhadap dinamika ini kita bisa melihat bagaimana perang dagang tersebut membentuk ulang lanskap ekonomi Indonesia di berbagai bidang.
Konsekuensi utama adalah penurunan volume ekspor yang menjadi pilar utama perekonomian Indonesia. China sebagai pembeli terbesar komoditas seperti minyak sawit dan batubara mengurangi impornya akibat tekanan tarif dari Amerika Serikat sehingga permintaan terhadap produk Indonesia menurun sekitar 8 persen pada kuartal ketiga 2025. Ekspor minyak sawit misalnya yang biasanya mencapai miliaran ton per tahun kini menghadapi persaingan ketat dari negara lain seperti Malaysia karena konsumen China mencari alternatif lebih murah. Hal ini memengaruhi pendapatan petani di Sumatera dan Kalimantan yang bergantung pada pasar ekspor dengan penurunan harga jual hingga 15 persen. Di sisi lain ekspor ke Amerika Serikat juga terhambat karena konsumen di sana mengurangi pembelian barang manufaktur seperti sepatu dan pakaian akibat kenaikan harga impor dari Asia. Neraca perdagangan Indonesia yang sempat surplus kini berpotensi defisit lagi sehingga memaksa pemerintah untuk menyesuaikan kebijakan fiskal dengan hati-hati.
Selain itu sektor manufaktur Indonesia mengalami gangguan rantai pasok yang signifikan. Banyak industri di Tanah Air bergantung pada komponen impor dari China seperti chip elektronik dan bahan kimia yang kini lebih mahal akibat konflik. Pabrik-pabrik di kawasan industri seperti Cikarang dan Batam melaporkan keterlambatan pengiriman hingga dua minggu yang memengaruhi target produksi secara keseluruhan. Konsekuensinya adalah penurunan output industri sekitar 4 persen yang berdampak pada penyerapan tenaga kerja dengan ribuan pekerja yang terancam PHK di sektor tekstil dan elektronik. Meskipun ada peluang relokasi pabrik dari China ke Indonesia dengan peningkatan investasi sekitar 10 persen pada tahun ini proses adaptasi memerlukan waktu dan modal yang tidak sedikit. Perusahaan lokal harus berinvestasi dalam teknologi baru untuk menggantikan pasokan dari China agar tetap kompetitif di pasar global.
Dari sisi keuangan konsekuensi langsung terlihat pada peningkatan volatilitas pasar modal dan inflasi. Bursa Efek Indonesia mengalami fluktuasi hebat dengan Indeks Harga Saham Gabungan yang turun lebih dari 2 persen dalam hitungan hari akibat sentimen negatif dari perang dagang. Investor asing menarik dana mereka ke aset aman seperti obligasi Amerika Serikat sehingga likuiditas di pasar domestik menurun. Inflasi juga naik karena biaya impor barang modal yang lebih tinggi dengan angka mencapai 3,5 persen pada September 2025. Sektor UMKM yang merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia merasakan beban ini melalui kenaikan harga bahan baku seperti plastik dan logam yang memengaruhi margin keuntungan mereka. Bank Indonesia terpaksa menaikkan suku bunga acuan untuk menstabilkan rupiah meskipun hal tersebut memperlambat kredit usaha dan konsumsi rumah tangga.
Konsekuensi terhadap ketahanan sosial dan lingkungan juga tidak bisa diabaikan. Penurunan ekspor komoditas primer menyebabkan peningkatan kemiskinan di daerah pedesaan dengan tingkat pengangguran yang naik sekitar 0,3 persen di sektor perkebunan. Keluarga petani di Papua dan Maluku menghadapi kesulitan ekonomi karena harga jual produk mereka yang rendah. Selain itu tekanan untuk meningkatkan produksi domestik bisa memicu eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan seperti deforestasi untuk perkebunan sawit baru meskipun pemerintah telah menerapkan kebijakan berkelanjutan. Di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya harga pangan naik akibat gangguan impor sehingga memengaruhi daya beli masyarakat kelas menengah.