Kegagalan Timnas Indonesia lolos ke Piala Dunia 2026 menjadi pukulan telak bagi pecinta sepak bola nasional setelah dua kekalahan beruntun di putaran keempat kualifikasi zona Asia yakni 2-3 dari Arab Saudi pada 8 Oktober 2025 dan 0-1 dari Irak pada 10 Oktober 2025 yang secara resmi menyatakan Garuda tersingkir dari perebutan tiket ke turnamen besar tersebut. Di bawah kepemimpinan Patrick Kluivert yang ditunjuk PSSI pada Januari 2025 pelatih asal Belanda ini gagal membawa tim mencapai target minimal lolos ke ronde kelima meskipun memiliki skuad hybrid dengan naturalisasi berbakat dan talenta lokal potensial. Kekalahan ini bukan hanya soal skor tapi juga mencerminkan ketidakmampuan strategi Kluivert dalam mengadaptasikan gaya permainan Eropa ke kondisi Asia yang menuntut fleksibilitas tinggi terhadap cuaca panas jadwal padat dan pressing lawan yang agresif sehingga menimbulkan pertanyaan besar mengenai kelayakannya melatih timnas negara kita yang sedang dalam fase pembangunan jangka panjang. Dengan ranking FIFA Indonesia yang terancam terjun bebas pasca-kekalahan ini PSSI dihadapkan pada dilema apakah mempertahankan Kluivert atau beralih ke figur yang lebih paham dinamika lokal untuk menghindari pengulangan kegagalan di kompetisi mendatang seperti AFF Cup atau Piala Asia 2027.
Catatan performa Kluivert sejak menjabat semakin memperkuat argumen bahwa ia tidak layak memimpin Timnas Indonesia dengan delapan pertandingan yang hanya menghasilkan tiga kemenangan dua hasil imbang dan tiga kekalahan di mana timnas mencetak sepuluh gol tapi kebobolan lima belas kali yang menunjukkan ketidakseimbangan fatal di lini pertahanan. Di laga melawan Arab Saudi Indonesia sempat unggul sementara melalui gol cepat dari Marc Klok tapi gagal mempertahankan keunggulan karena rotasi pertahanan yang kaku dan kurangnya variasi serangan yang membuat lawan dengan mudah membalikkan keadaan melalui counter-attack efektif. Sementara itu kekalahan dari Irak di laga penentu menunjukkan ketergantungan berlebih pada penguasaan bola possession tinggi ala Belanda yang gagal menghasilkan gol meskipun mendominasi statistik tembakan tapi justru kebobolan dari situasi bola mati yang seharusnya bisa diantisipasi dengan lebih baik. Kritik dari pengamat sepak bola nasional menyoroti bahwa Kluivert lambat dalam mengintegrasikan pemain muda seperti Arkhan Kaka atau Hokky Caraka yang lebih adaptif dengan iklim tropis dibandingkan naturalisasi Eropa yang sering mengalami kelelahan fisik akibat jadwal intensif. Hal ini berbeda dengan era Shin Tae-yong di mana timnas menunjukkan kemajuan signifikan di ronde ketiga sebelumnya dengan pendekatan taktik yang lebih dinamis dan berorientasi pada kecepatan serta semangat juang yang menjadi ciri khas pemain Indonesia.
Aspek finansial juga menjadi sorotan utama yang membuat Kluivert tampak tidak layak dipertahankan mengingat gaji bulanan tinggi yang diterimanya sekitar lima juta euro per tahun yang seharusnya bisa dialokasikan untuk program pembinaan usia muda atau peningkatan fasilitas latihan yang masih tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Vietnam yang berhasil lolos lebih jauh berkat konsistensi investasi lokal. Kekalahan beruntun ini tidak hanya menyebabkan pembubaran sementara timnas senior tapi juga menimbulkan ketegangan internal di PSSI di mana Erick Thohir sebagai ketua umum menyerukan evaluasi mendalam terhadap staf pelatih asing yang lebih mengandalkan reputasi masa lalu sebagai pemain daripada rekam jejak sukses di level internasional Asia. Kluivert yang sebelumnya melatih CuraƧao di kualifikasi CONCACAF gagal menerapkan pelajaran adaptasi tersebut di sini di mana faktor geopolitik dan cuaca menjadi penentu krusial sehingga strategi 4-3-3-nya rentan terhadap pressing tinggi dari tim seperti Irak yang memanfaatkan kelemahan transisi pertahanan Indonesia. Reaksi warganet yang ramai pasca-kekalahan menunjukkan hilangnya kepercayaan publik dengan tagar #KluivertOut yang trending di media sosial yang menuntut perubahan segera untuk menyelamatkan citra sepak bola nasional.
Pada akhirnya kegagalan lolos ke Piala Dunia 2026 ini menjadi pelajaran berharga bagi PSSI untuk lebih selektif dalam memilih pelatih asing yang harus memiliki pengalaman relevan di kompetisi Asia bukan hanya nama besar dari Eropa. Indonesia membutuhkan figur yang bisa menjembatani disiplin taktik modern dengan kultur bermain kolektif Nusantara seperti pelatih hybrid Asia-Eropa sukses di klub SEA untuk memaksimalkan potensi talenta seperti Pratama Arhan atau Egy Maulana Vikri. Dengan klasemen putaran keempat yang menempatkan Indonesia di dasar Grup B setelah dua kekalahan tersebut mempertahankan Kluivert justru berisiko menghambat kemajuan jangka panjang yang sudah tertinggal dari Thailand atau Malaysia. Harapannya evaluasi pasca-kualifikasi ini akan membawa angin segar dengan transisi ke pelatih lokal berlisensi AFC yang lebih paham akar rumput sehingga Garuda bisa bangkit di agenda terdekat seperti Piala Asia 2027 dan membangun era baru sepak bola Indonesia yang kompetitif inklusif dan berorientasi pada pembinaan berkelanjutan.